Kapan Kita Harus Beli atau Tidak?

Pengamat pasar modal teguh hidayat mengatakan, bahasa keren untuk strategi seperti ini adalah portfolio rebalancing. Portfolio rebalancing sangat penting untuk dilakukan baik anda adalah seorang investor jangka panjang, ataupun trader.
Analogi dari portfolio rebalancing ini seperti dalam kompetisi sepakbola. Setiap tahunnya, para manajer sebuah klub memiliki kesempatan dua kali, yakni ketika jendela transfer dibuka pada pertengahan dan awal musim kompetisi, untuk membeli pemain yang ia butuhkan, mempertahankan sebagian pemain yang sudah ada, dan menjual/melepas sebagian pemain yang tidak lagi dibutuhkan oleh tim.
Kegiatan jual beli pemain ini diperlukan karena pemain sepakbola yang amat sangat bagus sekalipun, pada akhirnya dia akan menjadi tua dan kehilangan kemampuannya, sehingga tidak lagi bisa berkontribusi terhadap tim.
Ketika klub mempertahankan pemainnya/tidak menjualnya, maka alasannya cuma satu Si pemain masih bisa diharapkan untuk berkontribusi lebih banyak lagi terhadap tim secara keseluruhan, dimana meski ada klub-klub lain yang mengincarnya, namun harga yang mereka tawarkan tidak/belum sebanding dengan besarnya kontribusi tersebut.
Sementara ketika sebuah klub membeli seorang pemain, alasannya bisa karena 1. Harganya relatif murah dibanding dengan kualitas si pemarin itu sendiri, 2. Harganya murah, dan memang kualitasnya juga tidak bagus-bagus amat, namun sesuai dengan kebutuhan tim atau si manajer, 3. Merupakan pemain muda dengan bakat terpendam, dan 4. Harganya mahal, namun setimpal dengan kualitasnya yang luar biasa.
"Nah, percaya atau tidak, dalam menyusun komposisi portofolio saham, maka tugas anda sebagai investor adalah seperti manajer klub sepakbola tadi, dan saham-saham yang anda pegang adalah seperti para pemain sepakbolanya," ujarnya.
Jadi kenapa anda harus menjual salah satu atau beberapa saham yang anda pegang? Alasannya adalah karena kinerja/fundamental perusahaannya terbilang bagus, namun di periode berikutnya perusahaan ternyata tidak bisa mempertahankan kinerjanya yang bagus tersebut (misalnya labanya tiba-tiba turun drastis, atau bahkan rugi).
Lalu, sahamnya sering bergerak liar termasuk turun sendiri tanpa penyebab yang jelas, sehingga mengganggu kinerja portofolio secara keseluruhan, dan pada titik tertentu, misalnya ketika pasar sedang bullish, harga saham tersebut sudah naik sangat tinggi dibanding dengan perkembangan fundamental dari perusahaannya sendiri, sehingga valuasinya menjadi sangat mahal.
"Kalau anda perhatikan ketiga poin ‘alasan penjualan’ itu, maka anda bisa menjual saham anda dalam posisi untung, rugi, ataupun tengah-tengahnya," urainya.
Jadi alasan kenapa anda harus menjual saham tertentu bukanlah karena anda sudah untung atau rugi sekian persen dari saham tersebut, melainkan karena anda harus menjualnya saja. Tak peduli seberapa dalam kerugian yang anda alami, namun kalau saham tersebut kemungkinan masih bisa turun, maka segeralah menjualnya.
Sebaliknya, meski anda mungkin akan ‘jatuh cinta’ pada saham tertentu karena saham tersebut sudah memberikan keuntungan sebesar sekian kali lipat sehingga anda bertekad untuk memegangnya selamanya, namun jika ‘waktunya tiba’ dimana anda harus menjualnya, maka anda harus menjualnya.
Saham sekelas Astra International (ASII) sekalipun, jika anda terus memegangnya selama periode 2011 – 2013, maka anda akan kehilangan waktu 2 tahun yang amat berharga tanpa memperoleh apa-apa, karena ASII hanya bergerak stagnan selama periode waktu tersebut, sesuai dengan kinerjanya yang juga stagnan karena pelemahan harga CPO dan batubara.
— Lalu kenapa saham-saham yang lainnya bisa di-hold? Karena saham tersebut masih berpotensi untuk naik lebih tinggi lagi, meski kenaikan tersebut tentunya tidak akan terjadi hanya dalam waktu 1 – 2 hari.
Dan ketika anda berniat untuk membeli saham-saham tertentu (sebagai ganti dari saham-saham yang sudah dijual sebelumnya), maka beberapa alasan yang masuk akal seperti valuasi relatif murah, fundamental bagus, berpeluang naik, dan konsisten menghasilkan laba.
"Jadi percaya atau tidak, kalau orang-orang seperti Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, dan Joseph Guardiola main saham, mereka semua akan menggunakan strategi value investing, yakni membeli saham berdasarkan fundamental dan valuasinya," tutur Teguh.
Lalu, kapan kita bisa ‘mengocok ulang’ komposisi portofolio, alias menjual saham yang tertentu, meng-hold selebihnya, dan membeli saham-saham baru?
Tidak ada jawaban pasti karena bisa beda-beda tergantung siapa yang ditanya. Beberapa trader yang kecanduan trading mungkin akan mengocok portofolionya setiap saat selama jam trading, sebab ia bisa membeli saham tertentu di pagi hari, dan menjualnya pada sore harinya, dan besoknya ganti saham lagi.
Sementara kalau anda mau mencontoh strategi portfolio rebalancing ala manager klub sepakbola, maka anda bisa melakukan melirik kembali portofolio anda setiap enam bulan sekali.
Sebenarnya pasar saham membuka ‘transfer window’-nya hampir setiap hari, yakni dari hari Senin sampai Jumat, pukul 09.00 – 16.00 WIB, namun anda bisa menerapkan transfer window anda sendiri, katakanlah setiap enam bulan sekali, yakni pada akhir tahun dan akhir bulan Juni.
Jadi, keputusan untuk hanya melirik koleksi pegangan saham setahun sekali mungkin bukanlah ide yang terlalu bagus.